Apakah Zakat yang Ditinggalkan Selama Bertahun-tahun Wajib Dibayar?

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki kedudukan agung dalam menjaga keseimbangan sosial dan membersihkan harta dari sifat kikir. Ia bukan hanya ibadah finansial, melainkan juga manifestasi ketundukan seorang hamba terhadap perintah Allah. Namun, di tengah masyarakat masih ditemukan sebagian orang yang lalai atau bahkan tidak mengetahui kewajiban zakat, bahkan selama bertahun-tahun ia tidak menunaikannya. Dalam kondisi seperti ini, muncul pertanyaan penting: apakah zakat yang terlewat karena ketidaktahuan tetap wajib dikeluarkan?

Menjawab hal tersebut, para ulama telah menjelaskan secara rinci hukum orang yang tidak menunaikan zakat karena tidak tahu akan kewajibannya. Para fuqaha menegaskan bahwa ketidaktahuan bukan alasan yang menggugurkan kewajiban zakat, sehingga hal ini perlu dijadikan pedoman penting bagi umat Islam agar tidak memandang ringan kewajiban zakat dan menyadari bahwa setiap harta yang telah memenuhi syarat tetap wajib dikeluarkan zakatnya, sekalipun pemiliknya baru mengetahui kewajiban itu setelah beberapa tahun berlalu.

Syarat-syarat Wajibnya Zakat

Telah ditetapkan dalam syariat yang mulia, bahwa zakat wajib bagi setiap Muslim yang merdeka, memiliki harta yang mencapai nisab, telah berlalu satu tahun Qamariyah atas harta tersebut (haul), dan harta itu melebihi kebutuhan untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya.

Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, dari Ibnu Abbas RA, bahwa Nabi SAW ketika mengutus Mu’adz RA ke Yaman, beliau bersabda:

(ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا الله، وَأَنِّي رَسُولُ الله، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ الله قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ الله افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ).

“Serulah mereka untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka menaati hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka salat lima waktu setiap sehari semalam. Jika mereka menaati hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat) pada harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” (HR. Bukhari).

Dan Abu Daud meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Ali RA, bahwa Nabi SAW bersabda:

(فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ، وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ، فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ، وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ -يَعْنِي- فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا، فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا، وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ، فَفِيهَا نِصْفُ دِينَار).

“Apabila engkau memiliki dua ratus dirham, dan telah berlalu satu tahun atasnya, maka zakatnya adalah lima dirham. Dan tidak ada kewajiban atasmu—yakni dalam emas—hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Jika engkau memiliki dua puluh dinar, dan telah berlalu satu tahun atasnya, maka zakatnya setengah dinar.” (HR. Abu Daud).

Perlu diketahui, bahwa “Syarat Wajib” adalah: sesuatu yang karenanya kita dibebani kewajiban; misalnya, masuknya waktu salat merupakan syarat wajibnya salat; suci dari haid merupakan syarat wajibnya salat, puasa, dan tawaf; sampainya risalah para Nabi merupakan syarat wajibnya iman. (Lih. Fath al-Wadûd karya Syekh Yahya al-Wulati, hlm. 18–19, cet. Mathba’ah al-Maulawiyyah, Fes).

Adapun “Syarat Pelaksanaan” adalah: setiap syarat yang menjadi syarat wajib—itu merupakan syarat pelaksanaan juga—dan ditambah lagi, adanya kemampuan untuk melaksanakan perbuatan tersebut. (Lih. Nasyr al-Bunûd karya Syekh asy-Syinqithi, 1/44, cet. Mathba’ah Fadhalah, Maroko).

Baca Juga: Menguak Rahasia Zakat

Apakah Mengetahui Kewajiban Zakat Termasuk Syarat Wajib Zakat?

Telah menjadi ketetapan di kalangan jumhur ulama bahwa “ilmu” atau “mengetahui” tidak termasuk syarat wajib zakat. Dalam al-Mudawwanah—salah satu kitab Fikih Maliki—(1/334, cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah) disebutkan:

[قال: وسألت مالكًا عن الرجل يعلم الإمام أنه لا يؤدي زكاة ماله الناض، أترى أن يأخذ منه الإمام الزكاة؟ فقال: إذا علم ذلك أخذ منه الزكاة. قلت: أرأيت قومًا من الخوارج غلبوا على بلد من البلدان، فلم يؤدوا زكاة مواشيهم أعوامًا، أيأخذ منهم الإمام إذا كان عدلًا زكاة تلك السنين إذا ظفر بهم؟ فقال: نعم]

“(Ibnu al-Qasim) berkata: ‘Aku bertanya kepada Malik tentang seseorang yang—imam (pemimpin) mengetahui bahwa ia—tidak menunaikan zakat hartanya berupa uang tunai, apakah engkau berpendapat bahwa imam boleh mengambil zakat dari orang itu?’ Malik menjawab: ‘Jika imam mengetahui hal itu, maka hendaknya imam mengambil zakat darinya.’ Aku berkata: ‘Bagaimana pendapatmu tentang sekelompok orang Khawarij yang menguasai sebuah negeri dan tidak menunaikan zakat hewan ternak mereka selama beberapa tahun; apakah imam yang adil, jika berhasil menguasai mereka, boleh mengambil zakat tahun-tahun yang telah lewat?’ Malik menjawab: ‘Ya’.”

Imam an-Nawawi, salah satu ulama terkemuka dalam Mazhab Syafi’i berkata dalam al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab (5/337, cet. Dar al-Fikr):

[إذا مضت عليه سنون، ولم يؤدّ زكاتها لزمه إخراج الزكاة عن جميعها؛ سواء علم وجوب الزكاة أم لا، وسواء كان في دار الإسلام أم دار الحرب، هذا مذهبنا. قال ابن المنذر: لو غلب أهل البغي على بلد، ولم يؤد أهل ذلك البلد الزكاة أعوامًا، ثم ظفر بهم الإمام، أخذ منهم زكاة الماضي في قول مالك والشافعي وأبي ثور]

“Apabila telah berlalu beberapa tahun dan ia tidak menunaikan zakatnya, maka wajib baginya mengeluarkan zakat untuk seluruh tahun tersebut; baik ia tahu kewajiban zakat ataupun tidak, baik ia tinggal di negeri Islam maupun negeri perang. Ini adalah mazhab kami. Ibnul Mundzir berkata: Jika pemberontak (bughat) menguasai sebuah negeri, dan penduduk negeri itu tidak menunaikan zakat selama beberapa tahun, kemudian imam yang sah menguasai mereka, maka imam mengambil zakat masa lalu dari mereka. Ini adalah pendapat Malik, Syafi’i, dan Abu Tsaur.”

Adapun dalil atas wajibnya zakat bagi orang yang telah terpenuhi padanya syarat wajib zakat—meskipun ia tidak tahu kewajibannya—adalah bahwa zakat termasuk rukun Islam. Rukun-rukun ini wajib diketahui oleh setiap Muslim. Ketidaktahuannya terhadap kewajiban ini merupakan kelalaian dari dirinya, oleh karena itu kewajiban tersebut tidak gugur darinya, sebagaimana halnya salat dan puasa. Semua ini adalah perkara aksiomatik dalam agama yang setiap muslim wajib mengetahuinya.

Imam Ibnu ‘Abidin al-Hanafi berkata dalam Radd al-Muhtâr (1/42, cet. Dar al-Fikr, Beirut):

[قال العلامي في “فصوله”: من فرائض الإسلام تعلمه ما يحتاج إليه العبد في إقامة دينه، وإخلاص عمله لله تعالى، ومعاشرة عباده. وفرض على كل مكلف ومكلفة بعد تعلمه علم الدين والهداية، تعلم علم الوضوء، والغسل، والصلاة، والصوم، وعلم الزكاة لمَن له نصاب، والحج لمَن وجب عليه، والبيوع على التجار؛ ليحترزوا عن الشبهات والمكروهات في سائر المعاملات. وكذا أهل الحرف، وكل مَن اشتغل بشيء يفرض عليه علمه وحكمه ليمتنع عن الحرام فيه] اهـ.

“Al-‘Allami berkata dalam kitab Fushûl-nya: Termasuk kewajiban Islam adalah mempelajari hal-hal yang dibutuhkan oleh seorang hamba dalam menjalankan agamanya, menyucikan amalnya karena Allah, dan bergaul dengan sesama hamba Allah. Wajib bagi setiap mukalaf laki-laki dan perempuan, setelah mempelajari ilmu agama dan petunjuk, untuk mempelajari ilmu wudu, mandi janabah, salat, puasa, serta ilmu zakat bagi yang memiliki harta senisab, dan ilmu haji bagi yang wajib atasnya. Demikian pula ilmu jual beli bagi para pedagang agar mereka terhindar dari hal-hal yang syubhat dan makruh dalam segala bentuk transaksi. Demikian pula bagi para tukang dan semua orang yang bekerja, wajib baginya mempelajari hukum pekerjaannya agar terhindar dari keharaman di dalamnya.”

Di samping itu, Imam al-Qarafi al-Maliki berkata dalam al-Furûq (2/149–150, cet. ‘Alam al-Kutub):

 [اعلم أن صاحب الشرع قد تسامح في جهالات في الشريعة فعفا عن مرتكبها، وآخذ بجهالات فلم يعف عن مرتكبها. وضابط ما يعفى عنه من الجهالات: الجهل الذي يتعذر الاحتراز عنه عادة، وما لا يتعذر الاحتراز عنه ولا يشق لم يعف عنه]

“Ketahuilah, bahwa Pembuat Syariat (Allah SWT) telah memberikan keringanan dalam beberapa bentuk ketidaktahuan dan memaafkan pelakunya, dan juga menuntut atas beberapa bentuk ketidaktahuan lainnya sehingga tidak memaafkan pelakunya. Batasan ketidaktahuan yang dimaafkan adalah ketidaktahuan yang secara kebiasaan sulit dihindari, sedangkan ketidaktahuan yang tidak sulit dihindari dan tidak memberatkan untuk mengetahuinya, maka tidak dimaafkan.”

Darul Ifta` Al-Mishriyyah terkait hal ini juga memfatwakan:

[فإنَّ الزكاة ليس من شروط وجوبها العلم بها، فإنَّ المكلف ما إذا اكتملت عنده شروط الوجوب المقرّرة عند الفقهاء فإنه يجب عليه إخراجها، فإن تركها لعامٍ أو أعوامٍ لعدم علمه بوجوبها، ثم علم ذلك، فإنَّه يجب عليه إخراجها عن ما مضى من الأعوام].

“Mengetahui kewajiban zakat bukan termasuk syarat wajibnya zakat. Apabila seorang mukalaf telah terpenuhi padanya syarat-syarat wajib zakat yang telah ditetapkan oleh para fuqaha, maka wajib baginya mengeluarkan zakat. Jika ia meninggalkannya selama satu tahun atau beberapa tahun karena tidak mengetahui kewajibannya, kemudian ia mengetahuinya, maka wajib baginya mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang telah berlalu.”

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa zakat tidak bergantung pada pengetahuan seseorang tentang kewajibannya. Selama syarat-syarat wajib zakat telah terpenuhi—seperti keislaman, kemerdekaan, kepemilikan harta yang mencapai nisab, dan berlalunya satu haul—maka zakat wajib ditunaikan. Ketidaktahuan terhadap kewajiban tersebut bukanlah alasan yang sah untuk meninggalkannya, karena mempelajari perkara-perkara aksiomatik dalam agama (al-ma’lûm mina-d-dîn bi-d-dharûrah) merupakan fardu ‘ain yang menjadi kewajiban setiap Muslim.

Dengan demikian, siapa pun yang menyadari bahwa ia belum menunaikan zakat selama bertahun-tahun, padahal pada tahun-tahun sebelumnya ia telah memenuhi sebab dan syarat diwajibkan zakat atas dirinya, maka wajib baginya untuk segera mengqadha` zakat tahun-tahun yang terlewat. Hal ini bukan sekadar pelunasan kewajiban materi, tetapi juga wujud tobat dan penyucian diri di hadapan Allah SWT. Semoga kesadaran ini menumbuhkan kepedulian umat terhadap zakat, memperkuat solidaritas sosial, dan mendatangkan keberkahan dalam harta serta kehidupan.

Referensi:

  • Syekh Yahya al-Wulati, Fath al-Wadûd
  • Syekh asy-Syinqithi, Nasyr al-Bunûd
  • Imam Malik bin Anas, al-Mudawwanah
  • Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
  • Imam Ibnu ‘Abidin al-Hanafi, Radd al-Muhtâr
  • Imam Syihabuddin al-Qarafi, al-Furûq
  • Fatwa No: 7157 Darul Ifta` Al-Mishriyyah (15 Maret 2020 M.)

Penulis: Yusuf Al-Amien, Lc., M.A.

(Dewan Pengawas Syariah Baitulmaal Munzalan Indonesia)

Bagikan Post ini
Buka WhatsApp
1
Butuh bantuan?
Nispi
assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh 👋
Apa ada yang bisa kami bantu?