Zakat untuk Panti Jompo: Sebuah Tinjauan Fikih

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki peran penting dalam mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan umat. Dengan zakat, harta seorang Muslim tidak hanya menjadi sarana penyucian diri, tetapi juga menjadi instrumen distribusi kekayaan yang mampu mengentaskan kemiskinan. Salah satu persoalan kontemporer yang sering muncul dalam praktik zakat adalah terkait penyalurannya kepada lembaga sosial, seperti panti jompo. Apakah zakat boleh diberikan kepada panti jompo? Untuk menjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan beberapa penjelasan berdasarkan prinsip-prinsip Fikih Zakat.

Telah diketahui bersama, bahwa hukum asal penyaluran zakat telah ditentukan secara tegas dalam Al-Qur`an, yaitu kepada delapan golongan mustahik—sebagaimana disebutkan dalam surah At-Taubah ayat 60—yang mencakup: fakir, miskin, amil zakat, mualaf, riqab (memerdekakan budak), gharim (orang yang berutang), fi sabilillah, dan ibnu sabil. Delapan golongan ini bersifat tetap dan paten, sehingga zakat tidak boleh disalurkan kepada selain delapan golongan tersebut. Allah SWT berfirman:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ﴾ ( التوبة: 60)

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 60).

Adapun dalilnya dalam Sunnah, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah Hadis, bahwa Abu Daud meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Ziyad bin Al-Harits RA, bahwa ia berkata:

أتيت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم فبايعته فذَكَر حديثًا طويلًا قال: فأتاه رجلٌ فقال: أعطني من الصدقة، فقال له رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم: (إنَّ الله تعالى لم يَرْضَ بحكم نبيٍّ ولا غيره في الصدقات، حتى حكم فيها، فجزأها ثمانية أجزاء، فإن كنتَ مِن تلك الأجزاء أعطيتُك حقَّك).

Aku datang kepada Rasulullah SAW lalu aku berbaiat kepada beliau—kemudian ia menyebutkan hadits yang panjang—ia berkata: Lalu datang seorang lelaki kepada Nabi SAW dan berkata: “Berikanlah kepadaku bagian dari sedekah (zakat).” Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya:

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak meridai keputusan seorang Nabi pun dan tidak juga selainnya dalam urusan zakat, sampai Dia sendiri yang menetapkan hukum di dalamnya, lalu Dia membaginya menjadi delapan bagian. Jika engkau termasuk dari bagian-bagian tersebut, niscaya aku berikan hakmu.”

Dari kedua dalil di atas kita ketahui bahwa panti jompo tidak masuk ke dalam salah satu golongan penerima zakat, karena ia merupakan lembaga, bukan individu. Delapan golongan tersebut, itulah yang telah disepakati oleh para ulama, meskipun mereka berbeda pendapat apakah zakat wajib dibagi kepada delapan golongan tersebut semuanya atau boleh dibagikan hanya kepada sebagian golongan saja tanpa yang lain. (Lihat: Tuhfah al-Fuqahâ` karya as-Samarqandi al-Hanafi, 1/299, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah; Minah al-Jalîl karya Syaikh ‘Ilisy al-Maliki, 2/92, Dar al-Fikr; Mughnî al-Muhtâj karya al-Khatib asy-Syarbini, 4/173, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah; Syarh az-Zarkasyi ‘alâ Mukhtashar al-Khiraqi, 2/446, Dar al-Obeikan).

Baca Juga: Hukum Membayar Zakat Ke Panti Asuhan

Kemudian, dalam kajian lebih lanjut, kita temukan banyak ulama telah memperluas pemahaman terhadap golongan ketujuh dalam ayat di atas, yaitu firman Allah Ta’ala:

…وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ…﴾ ( التوبة: 60))

“…untuk jalan Allah (fi sabilillah)…” (QS. At-Taubah [9]: 60).

Sebagian ulama telah menafsirkan “fi sabilillah” masuk ke dalam seluruh bentuk ketaatan, jalan kebaikan, dan kemaslahatan umum bagi manusia; sebagaimana makna lahiriah dari lafal tersebut. Imam al-Kasani al-Hanafi berkata dalam Bada`i’ ash-Shana`i’ (2/45, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah):

وأَمَّا قوله تعالى: ﴿ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ﴾ فعبارة عن جميع القُرَب، فيدخل فيه كل مَن سعى في طاعة الله وسبيل الخـيرات إذا كان محتاجًا.

“Adapun firman Allah Ta’ala: fi sabilillah maka itu mencakup semua bentuk ketaatan, sehingga termasuk di dalamnya setiap orang yang berusaha dalam ketaatan kepada Allah dan jalan kebaikan bila ia membutuhkannya.”

Pendapat serupa disampaikan juga oleh Imam Fakhruddin ar-Razi asy-Syafi’i dalam tafsirnya Mafâtih al-Ghaib (16/87, Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi), dalam perkataannya:

واعلم أن ظاهر اللفظ في قوله: ﴿ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ﴾ لا يوجب القصر على كل الغزاة؛ فلهذا المعنى نقل القَفَّال في “تفسيره” عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد؛ لأنَّ قوله: ﴿ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ﴾ عامٌّ في الكل.

“Ketahuilah, bahwa makna lahiriah dari lafal dalam firman-Nya ‘wa fi sabilillah’ tidak mewajibkan pembatasan hanya pada para mujahid. Karena itulah, al-Qaffal menukil dalam tafsirnya dari sebagian fuqaha bahwa mereka membolehkan menyalurkan sedekah kepada semua bentuk kebaikan, seperti mengkafani mayit, membangun benteng, dan memakmurkan masjid. Karena firman Allah ‘wa fi sabilillah’ itu umum untuk semuanya.”

Dengan demikian, meskipun panti jompo tidak termasuk golongan penerima zakat secara langsung, namun para ulama memperbolehkan penyaluran zakat kepada para penghuni panti jompo apabila mereka termasuk kategori fakir atau miskin. Karena penghuni panti jompo pada umumnya adalah orang-orang lanjut usia yang tidak memiliki keluarga yang menanggung nafkahnya, sehingga mereka berhak menerima zakat dengan status sebagai fakir miskin. Dalam hal ini, zakat tidak diberikan kepada lembaganya, melainkan kepada individu-individu yang berada di dalamnya.

Maka seorang lansia bisa termasuk dalam golongan penerima zakat, apabila dirinya memenuhi kriteria salah satu dari golongan-golongan yang berhak menerima zakat; baik karena fakir, miskin, terlilit utang, atau yang lainnya. Namun, bisa juga ia tidak termasuk orang yang berhak menerima zakat apabila ia kaya dan serba kecukupan. Sehingga hal itu berlaku pada tingkat individu, yaitu dilihat dari keadaan personal si lansia itu sendiri.

Adapun pada tingkat lembaga yang menangani perawatan orang lanjut usia, maka panti yang didirikan untuk merawat orang tua bisa saja hanya berisi orang miskin, atau juga mencakup orang kaya. Sedangkan orang kaya tidak boleh diberi zakat menurut kesepakatan ulama. (Lihat: al-Mabsûth karya as-Sarakhsi, 2/160, Dar al-Ma‘rifah; at-Tâj wa al-Iklîl karya Abu Abdillah al-Mawwaq, 3/247, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah).

Terkait masalah menyalurkan zakat kepada panti jompo ini, Lembaga Fatwa Mesir dalam fatwanya No. 8259 telah menjelaskan:

فإذا كانت هذه الدور تقوم على رعاية المسنين الفقراء، فحينئذٍ يجوز دفع الزكاة لها تحت مصرف “الفقراء”. هذا فضلًا عن أنَّ هذه المؤسسات تقوم بأعمال البر العامة التي يجوز دفع الزكاة إلى مَن يقوم بها؛ إذ إنها تُوفِّر لهم المسكن والرعاية اللازمة لهم مِن طعامٍ ودواءٍ ومأوى وغير ذلك، فيجوز صرف الزكاة لها تحت مصرف ﴿ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ﴾ وَفْق ما نَصَّ عليه الفقهاء -كما سبق- في تفسير هذا المصرف، لكن ينبغي في سياق ذلك الالتزام بمراعاة الشؤون التنظيمية الخاصة بهذا الأمر، وعدم مخالفة القانون في ذلك. ومقتضى هذا أَنَّ الأخذ بهذا القول مقيدٌ بما إذا تَوقَّف الإنفاق في دور رعاية المسنين -كما هي مسألتنا- على مال الزكاة، وذلك في الحالة التي يَنعَدِم عندها أموال الصدقات والتبرعات، وإلَّا ففيهما -أي: الصدقات والتبرعات- الغُنْيَة إذا تيسَّرا. وسواء قُلْنا بدفع الزكاة مِن مصرف “في سبيل الله” أو من مصرف “الفقراء” فينبغي أن يُرَاعَى في الإنفاق أَشَدُّ المسنين حاجةً إليه، فهُم أَوْلَى مِن غيرهم  بمال الزكاة.

“Jika panti-panti tersebut memang merawat orang tua yang miskin, maka boleh menyalurkan zakat kepada mereka dengan kategori fakir. Terlebih lembaga-lembaga tersebut juga melakukan amal kebajikan umum yang boleh diberikan zakat kepada orang yang melakukannya. Sebab mereka menyediakan tempat tinggal dan perawatan yang dibutuhkan, seperti makanan, obat, tempat tinggal, dan lainnya. Maka boleh menyalurkan zakat kepada mereka dalam kategori fi sabilillah, sesuai dengan yang dijelaskan para fuqaha—sebagaimana telah disebutkan—ketika menafsirkan golongan (fi sabilillah) ini. Namun, dalam hal ini harus tetap memperhatikan aturan pengelolaan yang berlaku dalam perkara tersebut, dan tidak boleh melanggar hukum yang ada. Konsekuensinya, mengambil pendapat ini terikat pada kondisi di mana pembiayaan panti jompo benar-benar bergantung pada dana zakat, yakni ketika sudah tidak ada lagi dana dari sedekah maupun donasi. Jika masih ada dana dari sedekah atau donasi, maka kedua hal itu sudah mencukupi bila tersedia. Dan baik kita menyalurkan zakat melalui kategori ‘fi sabilillah’ maupun melalui kategori ‘fakir’, maka harus diperhatikan agar penyalurannya diprioritaskan kepada lansia yang paling membutuhkan, karena mereka lebih berhak terhadap harta zakat dibanding yang lain.”

Dengan demikian, panti jompo dapat menjadi pihak penyalur atau perantara zakat. Dalam hal ini, zakat diberikan kepada pengelola panti dengan syarat mereka menyalurkan zakat tersebut secara langsung kepada para penghuni yang berhak. Artinya, zakat tetap disalurkan kepada orang yang masuk dalam kategori mustahik, hanya saja teknis penyalurannya dilakukan melalui lembaga sosial. Dan jika panti jompo tersebut tidak memiliki sumber dana lainnya kecuali dari zakat, maka menurut fatwa yang diterbitkan Lembaga Fatwa Mesir, panti jompo tersebut dapat memperoleh zakat dengan kategori fi sabilillah, namun jika masih ada dana dari sedekah dan donasi, maka itu lebih diprioritaskan untuk panti jompo.

Dari uraian ini, kita juga dapat melihat bahwa zakat adalah ibadah sekaligus instrumen sosial yang sangat luhur, sehingga penyalurannya harus dilakukan secara hati-hati sesuai dengan tuntunan syariat. Memberikan zakat kepada penghuni panti jompo yang membutuhkan adalah salah satu bentuk nyata kepedulian sosial yang sejalan dengan Maqashid Syariah, yaitu menjaga kehidupan dan keberlangsungan manusia. Oleh karena itu, setiap Muslim hendaknya memastikan bahwa zakat yang dikeluarkan benar-benar sampai kepada pihak yang berhak, sehingga keberkahan zakat dapat dirasakan, baik oleh pemberi maupun penerima. Wallahu A’lam.

Refrensi

  • As-Samarqandi al-Hanafi, Tuhfah al-Fuqahâ`
  • Syaikh ‘Ilisy al-Maliki, Minah al-Jalîl
  • Al-Khatib asy-Syarbini, Mughnî al-Muhtâj
  • Syamsuddin Az-Zarkasyi al-Hanbali, Syarh az-Zarkasyi ‘alâ Mukhtashar al-Khiraqi
  • Al-Kasani al-Hanafi, Bada`i’ ash-Shana`i’
  • Fakhruddin ar-Razi asy-Syafi’i, Mafâtih al-Ghaib
  • As-Sarakhsi, al-Mabsûth
  • Abu Abdillah al-Mawwaq, At-Tâj wa al-Iklîl
  • Fatwa No: 8259 Darul Ifta` Al-Mishriyyah (19 Februari 2024)

Penulis: Yusuf Al-Amien, Lc., M.A

(Dewan Pengawas Syariah Batulmaal Munzalan Indonesia)

Bagikan Post ini
Buka WhatsApp
1
Butuh bantuan?
Nispi
assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh 👋
Apa ada yang bisa kami bantu?