Zakat sering kali hanya dilihat sebagai kewajiban tahunan yang mengurangi kekayaan. Namun, dalam perspektif ekonomi Islam yang lebih dalam, zakat berperan sebagai mekanisme alami yang mendorong setiap Muslim untuk menjadi investor yang cerdas dan produktif.
Prinsip ini paling jelas terlihat dalam anjuran yang ditujukan kepada para pengurus harta anak yatim, sebuah ajaran yang kemudian menjadi pedoman umum bagi setiap pemilik modal. Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW:
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ خطبَ فقالَ ألَا مَنْ وَلِيَ يتيمًا لَهُ مالٌ فليتجرْ في مالِهِ و لا يتركْهُ حتَّى تأكلَهُ الصَّدقةُ
Terjemahan:
Bahwa Nabi Muhammad ﷺ berkhutbah dan bersabda: “Ketahuilah! Barangsiapa yang mengurus anak yatim yang memiliki harta, maka hendaklah ia memperdagangkan harta itu untuknya (mengembangkannya), dan janganlah membiarkannya hingga ia (harta itu) dimakan oleh sedekah (zakat).”
Pernyataan “dimakan oleh sedekah (zakat)” (ta’kulahus-shadaqah) adalah sebuah peringatan keras dan sekaligus motivasi finansial yang sangat kuat dalam implementasi lingkup khusus (anak yatim) dan umum.
1. Perlindungan Nilai Harta (Khusus Anak Yatim)
Secara khusus, hadits ini adalah perintah bagi wali anak yatim untuk bersikap amanah dan aktif.
- Masalah: Jika harta anak yatim (misalnya uang tunai) disimpan tanpa dikembangkan, setiap tahunnya akan dikenakan kewajiban zakat sebesar 2.5%.
- Dampaknya: Dalam jangka waktu lama (misalnya 10-20 tahun), harta pokok anak yatim tersebut akan tergerus habis oleh pembayaran zakat yang rutin.
- Solusi Zakat: Zakat memaksa wali untuk berinvestasi. Wali harus mencari bisnis atau investasi yang memberikan return (keuntungan) di atas 2.5% per tahun. Dengan demikian, keuntungan tersebut dapat digunakan untuk membayar zakat, sementara modal pokok anak yatim tetap utuh bahkan bertambah.
Baca Juga: Keutamaan Berzakat
2. Mendorong Produktivitas (Lingkup Umum)
Secara umum, prinsip ini berlaku untuk setiap Muslim yang memiliki kelebihan harta (muzakki). Zakat bertindak sebagai pajak atas penimbunan (hoarding) dan pendorong bagi peredaran uang dalam ekonomi.

Selain itu,zakat tidak hanya mendorong investasi secara kuantitas, tetapi juga secara kualitas (kehati-hatian dan kehalalan) dengan:
1). Mendesak Efisiensi Keuangan, yaitu motivasi utama setiap investor yang patuh zakat adalah: “Saya harus menghasilkan return yang setidaknya cukup untuk menutupi 2.5% zakat tahunan.” Sehingga memaksa seseorang untuk tidak boros dalam pengeluaran bisnis, memilih peluang investasi yang terukur risikonya dan memiliki potensi keuntungan yang nyata, dan mengelola aset secara profesional dan bukan sekadar menimbunnya.
2). Menjaga Kehati-hatian (Syariah Compliance), karena tujuan investasi adalah melindungi dan mengembangkan harta untuk masa depan (bahkan dalam kasus anak yatim, untuk penerimaannya di masa depan), investor Muslim termotivasi untuk memilih investasi yang halal dan amanah. Investasi yang spekulatif dan tidak sesuai syariah dapat membawa kerugian besar, yang secara langsung bertentangan dengan tujuan untuk melindungi harta dari ‘dimakan’ oleh zakat.
Kesimpulan: Zakat Sebagai Katalisator Ekonomi
Zakat adalah sebuah katalisator ekonomi yang didesain untuk mencegah stagnasi kekayaan. Ia mengubah persepsi “simpanan aman” menjadi “aset berbiaya,” secara efektif mengarahkan modal dari brankas pribadi ke pasar produktif.
Dengan memahami bahwa zakat akan menggerus harta yang menganggur, umat Muslim terdorong untuk berinvestasi, berdagang, dan berkarya, menjadikan zakat bukan sebagai beban, melainkan sebagai fondasi untuk kekayaan yang berkembang, berkah, dan bermanfaat bagi umat.
Penulis: Al Ustadz Ahmad Fanani, MA., Ph.D
(Dewan Pengawas Syariah Batulmaal Munzalan Indonesia)





