Qardhul Hasan: Pengertian dan Ketentuan Fikih

Syariat Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh. Ia datang membawa aturan-aturan yang tidak hanya mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur interaksi antar manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu bentuk pengaturan itu adalah dalam hal muamalah, khususnya terkait dengan pinjam-meminjam, yang dalam istilah Fikih disebut Al-Qardh. Islam tidak hanya sekadar membolehkan praktik pinjam-meminjam, tetapi juga memberikan panduan moral dan hukum agar praktik tersebut menjadi sarana tolong-menolong, bukan jalan untuk menzalimi.

Di antara bentuk pinjaman yang sangat dianjurkan dalam Islam adalah “Qardhul Hasan” atau “pinjaman yang baik”. Pinjaman ini memiliki kedudukan istimewa karena menjadi salah satu amalan yang dicatat sebagai bentuk sedekah sekaligus ibadah. Al-Qur`an sendiri menyebut istilah Qardhul Hasan dalam beberapa ayat, yang menunjukkan betapa agungnya kedudukan amal ini. Bahkan Allah SWT menggambarkan pinjaman yang diberikan kepada sesama manusia dengan niat ikhlas dan kasih sayang sebagai pinjaman yang diberikan kepada-Nya, yang akan dibalas dengan pahala berlipat ganda.

Namun demikian, meskipun Qardhul Hasan memiliki keutamaan besar, masih banyak umat Islam yang belum memahami hakikatnya secara benar. Tidak jarang praktik pinjam-meminjam yang semestinya menjadi sarana tolong-menolong berubah menjadi alat untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara yang dilarang, seperti menuntut tambahan atau mensyaratkan keuntungan tertentu. Oleh karena itu, penting kiranya kita memahami konsep Qardhul Hasan secara utuh, termasuk keutamaannya, ketentuannya, serta cara pengembaliannya.

Pengertian Qardhul Hasan dan Keutamaannya

Qardhul Hasan adalah apa yang diberikan seseorang berupa harta atau semisalnya kepada orang yang berutang, sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah dan kasih sayang kepada orang yang membutuhkan, tanpa disyaratkan adanya tambahan, agar si peminjam mengembalikannya dengan yang semisal.

Imam al-Thahir Ibn ‘Asyur menjelaskan hakikat Qardhul Hasan dalam kitab at-Tahrîr wa at-Tanwîr (27/377, Dar at-Tunisiyah) dengan berkata:

القرض الحسن: هو القرض المُسْتَكْمِلُ محاسِنَ نَوْعِهِ من كَوْنِهِ عن طِيب نفسٍ وبشاشةٍ في وجه الْمُسْتَقْرِضِ، وخُلُوٍّ عن كل ما يُعَرِّضُ بالْمِنَّةِ أو بتضييق أجل القضاء.

“Qardhul Hasan adalah pinjaman yang sempurna sifat baiknya, yaitu diberikan dengan kerelaan hati, dengan wajah berseri kepada peminjam, dan bersih dari segala bentuk sindiran berupa merasa berjasa atau mempersempit waktu pembayaran.”

Maka memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan, sebagai bentuk kasih sayang kepadanya tanpa mengharap manfaat atau keuntungan yang kembali, termasuk dalam kategori meringankan kesulitan. Allah akan melipatgandakan pahala orang yang melakukannya, sebagaimana Firman-Nya:

﴿مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗٓ اَضْعَافًا كَثِيْرَةً ۗوَاللّٰهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۣطُۖ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ ٢٤٥﴾ (البقرة [2]: 245).

“Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah? Dia akan melipatgandakan (pembayaran atas pinjaman itu) baginya berkali-kali lipat. Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki). Kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 245).

            Dan Allah SWT berfirman:

﴿مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗ وَلَهٗٓ اَجْرٌ كَرِيْمٌ ١١﴾ (الحديد [57]: 11).

“Siapakah yang (mau) memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik? Dia akan melipatgandakan (pahala) untuknya, dan baginya (diberikan) ganjaran yang sangat mulia (surga).” (QS. Al-Hadid [57]: 11).

Adapun maksud dari “memberi pinjaman yang baik kepada Allah SWT” adalah menginfakkan harta di jalan-Nya.

Ketentuan Qardhul Hasan

Apabila Syariat mendorong Qardhul Hasan dan menjanjikan pahala besar bagi yang meminjamkan, serta menganjurkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan meringankan kesulitan mereka, maka Syariat juga melarang untuk mengeksploitasi kebutuhan orang lain dan menjerumuskan mereka dalam kesulitan yang dapat mendorong mereka melakukan hal yang terlarang.

Karena itu, hukum asal pinjaman adalah tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi pemberi pinjaman, tidak boleh disyaratkan adanya tambahan atas pokok pinjaman, dan harus dilakukan dalam rangka berlemah lembut, bukan untuk mencari keuntungan. Sebab, ia termasuk akad tabarru (tolong-menolong), bukan akad mu’âwadhât (jual-beli). Lihat: al-Majmû’ karya Imam an-Nawawi (13/170, Dar al-Fikr), dan al-Mughnî karya Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali (4/240, Maktabah al-Qahirah).

Cara Mengembalikan Pinjaman

Hukum asal dalam pengembalian pinjaman adalah dengan yang semisal. Telah ditetapkan dalam Syariat, bahwa pinjaman dilunasi dengan semisalnya dalam jumlah dan sifat, khususnya untuk uang kertas, karena termasuk amwâl mitsliyyah (harta yang memiliki kesetaraan), sehingga dikembalikan dengan yang semisal selama masih berlaku dan tidak terputus penggunaannya. Naik atau turunnya nilai tidak berpengaruh terhadap kewajiban pengembalian, selama uang tersebut masih berlaku dan tidak mengalami kemerosotan nilai.

Imam al-Kasani al-Hanafi berkata dalam kitab Badâ`i’ al-Shanâ`i’ (7/395) mengenai syarat pinjaman:

أن يكون مما له مثل كالمكيلات والموزونات والعدديات المتقاربة، فلا يجوز قرض ما لا مثل له من المذروعات، والمعدودات المتقاربة؛ لأنه لا سبيل إلى إيجاب رد العين ولا إلى إيجاب رد القيمة؛ لأنه يؤدي إلى المنازعة لاختلاف القيمة باختلاف تقويم المقومين؛ فتعين أن يكون الواجب فيه رد المثل؛ فيختص جوازه بما له مثل.

“Pinjaman harus berupa sesuatu yang ada padanannya, seperti yang ditakar, ditimbang, dan dihitung dengan ukuran yang sama. Tidak boleh meminjamkan sesuatu yang tidak ada padanannya, seperti barang takaran tertentu atau hitungan yang tidak seragam. Sebab, tidak mungkin mewajibkan pengembalian barang itu sendiri, juga tidak bisa mewajibkan pengembalian nilainya, karena akan menimbulkan perselisihan akibat perbedaan penilaian para penaksir. Maka wajiblah pengembalian dengan yang semisal, sehingga hanya sah pada sesuatu yang memiliki padanan.”

Al-‘Allamah Ali Abu al-Hasan al-Maliki berkata dalam kitab Kifâyah at-Thâlib ar-Rabbâniy (2/162, Dar al-Fikr):

 (وإن كان) مثليًا (مما يوزن أو يكال) أو يعد (فليرد مثله…).

“Apabila pinjaman itu berupa sesuatu yang ada padanannya, yang ditimbang, ditakar, atau dihitung, maka wajib dikembalikan dengan yang semisal.”

Al-Khatib al-Syerbini al-Syafi’i berkata dalam Mughnî al-Muhtâj (3/33, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah):

(ويرد) في القرض (المثل في المثلي)؛ لأنه أقرب إلى حقِّه.

“Dalam pinjaman, barang yang ada padanannya dikembalikan dengan yang semisal, karena itulah yang paling dekat dengan haknya.”

Hal senada disampaikan juga oleh Imam al-Ruhaibani al-Hanbali yang berkata dalam kitab Mathâlib Ulinnuhâ (3/242–243, al-Maktab al-Islami):

(ويجب) على مقترض (رد مثل فلوس) اقترضها، ولم تحرم المعاملة بها.. قَالَ الْمُوَفَّقُ: إذا زادت قيمة الفلوس أو نقصت؛ رد مثلها؛ كما لو اقترض عرْضًا مثليًّا؛ كبُرٍّ وشعير وحديد ونحاس، فإنه يرد مثله وإن غلا أو رخص؛ لأن غلو قيمته أو نقصانها لا يسقط المثل عن ذمة المستقرض

“Wajib bagi orang yang berutang untuk mengembalikan setara dengan uang (fulûs) yang ia pinjam, selama masih berlaku penggunaannya. Al-Muwaffaq berkata: Jika nilai uang itu naik atau turun, tetap dikembalikan dengan yang semisal, sebagaimana jika meminjam barang yang ada padanannya, seperti gandum, jelai (barli), besi, atau tembaga, maka wajib dikembalikan dengan yang semisal, meskipun harganya naik atau turun. Sebab, naik atau turunnya nilai tidak menggugurkan kewajiban mengembalikan yang semisal dari tanggungan orang yang berutang.”

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Qardhul Hasan atau pinjaman yang baik merupakan salah satu instrumen sosial dalam Islam yang bertujuan untuk menolong sesama, meringankan beban orang yang membutuhkan, dan menjadi bentuk nyata dari semangat ta’âwun (tolong-menolong) dalam kebaikan. Keutamaan amal ini ditegaskan dalam Al-Qur`an, diperkuat dengan penjelasan para ulama, dan dijaga ketentuannya agar tetap berada dalam koridor ibadah, bukan berubah menjadi sarana mencari keuntungan duniawi.

Ketentuan penting yang perlu diingat adalah, bahwa pinjaman dalam Islam tidak boleh disertai syarat tambahan atau keuntungan materi bagi pemberi pinjaman, karena hakikatnya ia merupakan akad tabarru (tolong-menolong), bukan akad tijârah (bisnis). Adapun pengembaliannya cukup dengan nominal yang sama, tanpa melihat naik-turunnya nilai uang atau harga barang, selama alat pembayaran tersebut masih berlaku dan sah digunakan. Hal ini menunjukkan betapa Islam menekankan keadilan dan menghindarkan umatnya dari praktik riba atau penindasan dalam bentuk apa pun.

Dengan demikian, setiap Muslim hendaknya menjadikan Qardhul Hasan sebagai bagian dari amal saleh yang dikerjakan dengan penuh keikhlasan, tanpa pamrih, dan hanya mengharap rida Allah SWT. Sebab, pinjaman yang baik ini bukan hanya meringankan urusan dunia sesama manusia, tetapi juga menjadi investasi akhirat yang akan berbuah pahala besar. Sehingga dengan adanya Qardhul Hasan ini, diharapkan tradisi tolong-menolong di tengah umat Islam dapat tumbuh subur, dan menjadikannya sebagai jalan menuju keberkahan hidup di dunia dan akhirat, serta dapat menjadi penangkal praktik riba yang telah menggurita di masyarakat luas.

Referensi:

  • Imam al-Thahir Ibn ‘Asyur, at-Tahrîr wa at-Tanwîr
  • Imam an-Nawawi, al-Majmû’
  • Imam Ibnu Qudamah, al-Mughnî
  • Ali Abu al-Hasan al-Maliki, Kifâyah at-Thâlib ar-Rabbâniy
  • Imam al-Kasani, Badâ`i’ al-Shanâ`i’
  • Al-Khatib al-Syirbini, Mughnî al-Muhtâj
  • Imam al-Ruhaibani, Mathâlib Ulinnuhâ
  • Fatwa No: 7961 Darul Ifta` Al-Mishriyyah (14 Agustus 2023)

Penulis: Yusuf Al-Amien, Lc., M.A.

(Dewan Pengawas Syariah Batulmaal Munzalan Indonesia)

Bagikan Post ini
Buka WhatsApp
1
Butuh bantuan?
Nispi
assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh 👋
Apa ada yang bisa kami bantu?