Di sebuah desa kecil bernama Tafahna Al‑Asyraf, Mesir, lahirlah seorang pemuda bernama Sholah Athiyah. Ia menempuh pendidikan di bidang pertanian sebuah latar yang kemudian menjadi fondasi bisnisnya. Namun seperti banyak kisah sukses lainnya, perjalanan Sholah tidak lah mulus: modal terbatas, lingkungan terbatas, bahkan untuk memulai usaha ia dan sembilan rekannya harus menjual perhiasan istri, menjual tanah, bahkan meminjam demi modal awal.
Allah sebagai Mitra ke-10
Di saat hendak memulai usaha bersama sembilan orang rekannya, mereka menyepakati pembagian keuntungan dari usaha mereka akan tetapi masih kurang satu mitra ke-10. Dalam momen itulah Sholah mengusulkan ide yang tak biasa: menjadikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai mitra ke-10 usaha mereka.
Perjanjian tersebut bahkan dicatatkan secara resmi di notaris: bahwa 10 % dari profit akan diserahkan untuk “mitra ke-10” (yakni Allah), sebagai bentuk pengakuan bahwa usaha ini bukan hanya milik manusia, tetapi ia meminta keberkahan dan perlindungan dari Sang Pencipta.
Ternyata, hasilnya mengejutkan. Usaha peternakan unggas dan perkebunan itu mendapati profit yang “melejit” melebihi ekspektasi mereka. Mereka kemudian menaikkan persentase untuk mitra ke-10 dari 10 % menjadi 20 % dan kemudian hingga 50 %.
Bisnis dan sosial: dua sisi yang berjalan seiring
Dengan keuntungan yang semakin besar, Sholah Athiyah tidak berhenti di angka finansial semata. Ia dan koleganya mulai mengalokasikan profit untuk membangun institusi pendidikan: sekolah dasar hingga menengah, bahkan universitas di kota kecilnya.
Mereka juga mendirikan “baitul maal” untuk menyantuni fakir-miskin, janda, memberikan pelatihan wirausaha pertanian kepada warga desa, serta membangun asrama mahasiswa.
Salah satu kisah yang menarik: karena lokasi kota kecil itu agak terisolasi, mereka tidak hanya mendirikan universitas, tetapi juga memperjuangkan pembangunan jalur kereta api dan transportasi gratis untuk mahasiswa agar akses pendidikan terbuka. (Menurut salah satu sumber)
Gaya kepemimpinan Islami
Kepemimpinan Sholah Athiyah bisa dikatakan mengusung gaya yang sangat selaras dengan nilai Islam: rendah hati, prinsip “berbisnis untuk menolong”, bukan untuk menghambur-hamburkan. Ia tidak dikenal karena pamer kekayaan, melainkan karena bagaimana kekayaan itu dipergunakan untuk manfaat banyak orang. Budaya kerja bisnisnya pun tampak unik: bukan sekadar “berapa untungnya”, tetapi “berapa manfaatnya”. Keputusan-keputusan strategis selalu memperhitungkan dampak sosial dan spiritual bahkan dalam perjanjian bisnis mereka pun tercatat bahwa Allah adalah mitra bukan hanya investor.
Baca Juga: Gathring Munzalan
Nilai sosial & spiritual yang menyatu dalam bisnis
Cerita Sholah membuktikan bahwa bisnis tidak harus sekadar mengejar keuntungan dunia, melainkan bisa menjadi ladang kebaikan dan syiar. Dengan memasukkan Allah dalam perjanjian bisnisnya, ia mengubah paradigma bahwa usaha itu adalah ibadah ketika dijalankan dengan niat dan tata kelola yang benar.
Ketika keuntungan telah ditentukan sebagian untuk “mitra ke-10”, maka alokasi yang dilakukan adalah konkret: akses pendidikan gratis, pemberdayaan ekonomi warga, penyediaan infrastruktur untuk masyarakat kecil. Dengan begitu, nilai spiritual (taqwa, syukur, amanah) dan nilai sosial (keadilan, manfaat, pemberdayaan) berjalan beriringan.
Warisan dan pelajaran untuk generasi masa kini
Sholah Athiyah wafat pada 2016, namun warisan bisnis dan sosialnya terus mengalir. Bagi kita yang bekerja di ranah kreatif atau wirausaha termasuk penulis konten, startup, UMKM—kisah ini menyampaikan beberapa pelajaran penting:
- Bisnis dengan fondasi nilai: Mengapa kita membuat bisnis? Untuk siapa?
- Keuntungan bukan tujuan akhir: Ketika keuntungan diarahkan untuk manfaat, maka jangkauannya lebih luas.
- Transparansi dan akuntabilitas: Mencatat perjanjian, mengalokasikan dengan jelas.
- Keterhubungan antara bisnis dan sosial: Pemberdayaan ekonomi masyarakat bukan hanya “CSR” ekstra, tetapi bagian dari desain bisnis.
Dalam dunia yang semakin cepat mengejar angka finansial, kisah Sholah Athiyah mengingatkan kita bahwa keberhasilan bisnis yang sejati adalah ketika ia membawa perubahan bukan hanya untuk pemilik, tetapi untuk lingkungan dan umat. Ketika usaha kita mulai dengan niat yang lurus dan dikelola dengan nilai, maka tak hanya “profit” yang dicapai, melainkan keberkahan.
Semoga kisah ini menginspirasi Anda, pembaca, untuk berpikir bahwa bisnis bisa jadi ladang dakwah sebuah ladang yang tidak hanya menanam keuntungan, tetapi menanam manfaat, menanam kebaikan.





