Zakat adalah salah satu pilar utama dalam Islam, yang dengannya terwujud keseimbangan antara kepentingan individu dan kemaslahatan masyarakat. Zakat bukan hanya sekadar kewajiban ibadah yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya, tetapi juga sarana pembersihan harta, penguat solidaritas sosial, dan penopang keadilan ekonomi di tengah umat. Dengan zakat, jurang antara yang kaya dan yang miskin dapat dipersempit, sehingga setiap insan merasakan kasih sayang serta ikatan ukhuwah dalam satu barisan iman.
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak pertanyaan muncul terkait pelaksanaan zakat, di antaranya mengenai hukum menyegerakan zakat maal sebelum tiba waktunya. Hal ini penting dibahas karena zakat bukan hanya soal pelunasan kewajiban, melainkan juga menyangkut kemaslahatan bagi para penerima. Para fukaha telah memberikan penjelasan rinci berdasarkan Al-Qur`an, Hadis Nabi SAW, dan ijtihad para ulama dalam menyikapi persoalan ini. Oleh sebab itu, pembahasan tentang hukum menyegerakan zakat maal sebelum jatuh waktunya menjadi bagian penting agar umat Islam dapat menunaikan ibadah dengan benar sesuai tuntunan Syariat.
Penjelasan Jenis-jenis Harta yang Wajib Dizakati dan Syarat Nisabnya
Allah SWT menjadikan zakat sebagai salah satu tonggak Islam, dan menyebutnya bersandingan dengan salat yang merupakan amalan paling dicintai Allah untuk diwajibkan kepada hamba-Nya. Allah SWT berfirman:
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ﴾ (البقرة [2]: 43).)
“Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43).
Rasulullah SAW juga bersabda dalam sebuah Hadis:
(بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وإيتاء الزكاة…)
“Islam dibangun atas lima perkara: Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan salat, menunaikan zakat…”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun yang perlu diketahui, bahwa Allah SWT tidak mewajibkan zakat pada semua jenis harta, melainkan hanya pada beberapa jenis sebagaimana ditetapkan dalam Al-Qur`an dan Sunnah; seperti hewan ternak, tanaman, buah-buahan, barang dagangan, dan uang. Zakat pada masing-masing harta tersebut memiliki syarat-syarat khusus yang telah dijelaskan para fukahadalam kitab-kitab Fikih yang mereka tulis berdasarkan pemahaman mereka terhadap Al-Qur`an dan Sunnah.
Di antara syarat zakat pada uang adalah: uang tersebut mencapai nisab—yaitu setara dengan 85 gram emas kadar 21 karat—dan mencapai haul, yaitu berlalu satu tahun hijriyah penuh sejak kepemilikan nisab tersebut. Karena itu, para fukaha sepakat bahwa orang yang belum memiliki nisab zakat uang, maka apa yang ia keluarkan dengan niat zakat tidak boleh dihitung sebagai zakat harta jika di kemudian hari harta itu mencapai nisab. Jika hartanya mencapai nisab dalam tahun tersebut, maka tidak boleh baginya menghitung apa yang ia keluarkan sebelum hartanya mencapai nisab sebagai zakat, melainkan itu dihitung sebagai sedekah sunah.
Ibnu Qudamah berkata dalam kitab Al-Mughnî (2/471, Maktabah Al-Qahirah):
ولا يجوز تعجيل الزكاة قبل ملك النصاب بغير خلاف علمناه، ولو ملك بعض نصاب فعجَّل زكاته أو زكاة نصاب لم يجُز؛ لأنه تعجل الحكم قبل سببه.
“Tidak boleh menyegerakan zakat sebelum memiliki nisab, tanpa ada khilaf yang kami ketahui. Jika seseorang memiliki sebagian dari nisab lalu ia menyegerakan zakatnya atau zakat nisab, maka tidak boleh, karena ia menyegerakan hukum sebelum sebabnya ada.”
Hukum Menyegerakan Zakat Sebelum Sempurnanya Haul dan Penjelasan Fukaha
Jika seseorang memiliki uang yang telah mencapai nisab, lalu ia menyegerakan zakatnya sebelum sempurnanya haul, maka Mazhab Malikiyah berpendapat zakatnya tidak sah kecuali jika penyegeraan itu dalam kadar sedikit. Karena dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ahmad (redaksinya dari Ahmad) dan lainnya, Nabi SAW bersabda:
(لَيْسَ في مالٍ زكاةٌ حتَّى يحولَ عليه الحولُ).
“Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu atasnya satu haul (satu tahun hijriyah).”
Dan karena haul merupakan salah satu dari dua syarat zakat.
Ibnu Qudamah berkata dalam kitab Al-Mughnî (2/471):
ولأن الحول أحد شرطي الزكاة؛ فلم يجُز تقديم الزكاة عليه كالنصاب، ولأن للزكاة وقتًا فلم يجُز تقديمها عليه كالصلاة.
“Dan karena haul adalah salah satu dari dua syarat zakat; maka tidak boleh mendahulukan zakat sebelum sempurnanya haul sebagaimana tidak boleh mendahulukannya sebelum mencapai nisab. Dan karena zakat memiliki waktu (yang telah ditetapkan), maka tidak boleh mendahulukannya (sebelum waktu itu) sebagaimana salat.”
Al-Qadhi Abdul Wahhab Al-Baghdadi Al-Maliki berkata dalam Al-Isyrâf ‘alâ Nukat Masâ`il Al-Khilâf (1/386):
لا يجوز تقديم الزكاة قبل الحول.
“Tidak boleh mendahulukan zakat sebelum haul.”
Selain itu, Imam Syihabuddin Al-Qarafi Al-Maliki juga berkata dalam kitabnya, Adz-Dzakhîrah (3/137):
لا ينبغي إخراج زكاة عين ولا ماشية قبل الحول إلا بيسير.
“Tidak seharusnya mengeluarkan zakat harta atau zakat hewan ternak sebelum haul kecuali sedikit.”
Adapun jumhur fukaha dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, merekaberpendapat: boleh menyegerakan zakat sebelum sempurnanya haul atas nisab. Dan saat nantihaul telah sempurna, dan harta telah mencapai nisab, maka boleh baginya menghitung apa yang telah ia keluarkan sebagai zakat wajib.
Mereka berdalil dengan Hadis riwayat Tirmidzi dan lainnya, bahwa Nabi SAW meminjam zakat Abbas sebelum waktunya. Dan juga riwayat Abu Daud dan lainnya, bahwa Abbas RA bertanya kepada Nabi SAW tentang menyegerakan zakatnya sebelum waktunya, maka beliau memberi keringanan baginya untuk itu. Mereka juga berdalil bahwa dengan sempurnanya nisab, maka kewajiban zakat telah ditetapkan; karena telah terkumpul seluruh syarat zakat: yaitu nisab yang berkembang, kekayaan pemiliknya, dan berlalunya satu tahun haul.
Imam As-Sarakhsi berkata dalam Al-Mabsûth (2/177, cet. Dar Al-Ma’rifah):
(ولنا) ما روي عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنه استسلف من العباس صدقة عامين، ثم بكمال النصاب حصل الوجوب على أحد الطريقين لاجتماع شرائط الزكاة من النصاب النامي، وغنى المالك، وحولان الحول.
“Adapun dalil kami adalah riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau pernah meminjam (mendahulukan) zakat paman beliau, Abbas, untuk dua tahun ke depan. Maka dengan sempurnanya nisab, kewajiban zakat telah berlaku menurut salah satu pendapat, karena telah terpenuhi syarat-syarat zakat: adanya nisab yang berkembang, pemilik yang kaya, dan berlalunya haul.”
Baca Juga: Keutamaan Zakat dan Sholat
Hukum Menyegerakan Zakat Lebih dari Satu Tahun
Setelah ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah sepakat tentang bolehnya menyegerakan zakat untuk tahun berjalan, mereka berbeda pendapat tentang boleh tidaknya menyegerakan membayar zakat untuk lebih dari satu tahun. Ulama Hanafiyah, dalam salah satu pendapat ulama Syafi’iyah, serta salah satu riwayat dari ulama Hanabilah, berpendapat: boleh menyegerakan zakat—dengan syarat-syaratnya—untuk satu tahun atau lebih.
Imam Ibnu Maudud Al-Maushili Al-Hanafi berkata dalam Al-Mukhtâr li Al-Fatwâbeserta syarahnya Al-Ikhtiyâr (1/103, cetakan Al-Halabi):
ومن ملك نصابًا فعجَّل الزكاة قبل الحول لسنة أو أكثر أو لنُصُب جاز.
“Barang siapa yang memiliki harta mencapai nisab, lalu ia memajukan (membayar) zakat sebelum genap haul (satu tahun)—baik untuk satu tahun, atau lebih dari itu, ataupun untuk beberapa harta yang mencapai nisab—maka hal itu diperbolehkan.”
Imam Al-‘Imrani Asy-Syafi’i berkata dalam Al-Bayân (3/379, cet. Dar Al-Minhaj):
وهل يجوز تعجيل الزكاة لعامين، أو أكثر؟ فيه وجهان
“Apakah boleh memajukan pembayaran zakat untuk dua tahun atau lebih? Dalam hal ini terdapat dua pendapat (di kalangan ulama mazhab Syafi’i).”
Maksudnya, ada yang berpendapat boleh dan ada yang berpendapat sebaliknya.
Sedangkan Mazhab Hanbali, mereka mengambil posisi pertengahan, yaitu membolehkan pembayaran zakat secara dipercepat (ta’jîl) hanya untuk dua tahun saja, berdasarkan Hadis tentang zakat milik Abbas RA di atas, dan karena percepatan atau mendahulukan zakat itu sebenarnya menyelisihi dalil Qiyas (analogi hukum), maka pembolehannya dibatasi hanya pada apa yang ada dalilnya (nash).
Imam Al-Buhuti berkata dalam Syarh Muntahâ Al-Irâdât (1/451, cet. ‘Alam Al-Kutub):
ويجزئ تعجيلها؛ أي: الزكاة -وتركه أفضل- (لحولين)؛ لحديث أبي عبيد في “الأموال” عن علي رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم تعجل من العباس صدقة سنتين، ويعضده رواية مسلم: (فَهِيَ عَلَيَّ وَمِثْلُهَا)، وكما لو عجل لعام واحد (فقط)؛ أي: لا أكثر من حولين، اقتصارًا على ما ورد مع مخالفته القياس.
“Maka sah melakukan pembayaran zakat lebih awal—meskipun menundanya lebih utama—untuk durasi dua tahun; berdasarkan Hadis Abu ‘Ubaid dalam kitab Al-Amwâl dari Ali RA, bahwa Nabi SAW pernah meminta zakat dari Abbas RA untuk dua tahun secara sekaligus. Hal ini diperkuat oleh riwayat Muslim: ‘Maka zakat itu wajib atasku dan yang semisalnya (dua kali).’ Ini sama halnya seperti jika zakat dipercepat hanya untuk satu tahun saja. Maka yang diperbolehkan hanyalah sampai dua tahun, tidak lebih, sebagai bentuk pembatasan terhadap apa yang terdapat dalam nas (dalil), karena hukum ini menyelisihi Qiyas.”
Sedangakan Darul Ifta` Al-Mishriyyah, dalam fatwanya juga telah memberikan gambaran terkait masalah ini dengan menjelaskan:
يجوز تعجيل الزكاة إن كان في تعجيلها مصلحةٌ للفقير أو لغيره ممن هو أهلٌ لأخذها، وتعجيلها لعام أو لأكثر يختلف باختلاف هذه المصلحة، وإلا فالأولى إخراجُها في وقتها ليجد المستحق حاجته من المال في كل وقت؛ فإنه إذا عجَّل الجميعُ إخراجَها في عامٍ، فإذا جاء الآخر عُدمت أموال الزكاة، وهذا يُخالف مقصود الشارع منها.
“Boleh menyegerakan zakat apabila dalam penyegeraannya terdapat kemaslahatan bagi fakir atau selainnya yang berhak menerimanya. Adapun menyegerakan untuk satu tahun atau lebih maka hukumnya berbeda-beda sesuai dengan kadar kemaslahatan yang ada. Akan tetapi, yang lebih utama adalah mengeluarkan zakat pada waktunya, agar para mustahik dapat menemukan kebutuhannya setiap waktu. Sebab jika semua orang menyegerakan zakat pada satu tahun, maka pada tahun berikutnya harta zakat tidak tersedia, dan hal itu bertentangan dengan tujuan Syariat dari kewajiban zakat.”
Dari uraian para ulama di atas, dapat dipahami bahwa zakat memiliki aturan yang ketat, baik dari sisi waktu, nisab, maupun syarat-syarat lainnya. Akan tetapi, Syariat juga memberikan ruang keringanan bagi mereka yang hendak menyegerakan zakat, selama terdapat kemaslahatan yang nyata bagi mustahik. Dengan demikian, zakat tetap terjaga dari sisi ibadah sekaligus memberi manfaat sosial yang besar.
Maka kewajiban zakat seharusnya tidak dipandang sebagai beban, melainkan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT dan sebagai jalan menghadirkan keberkahan dalam harta. Umat Islam hendaknya berhati-hati, memahami ketentuan zakat secara mendalam, dan senantiasa memohon taufik dari Allah SWT agar ibadah yang dilakukannya diterima dan menjadi cahaya di dunia serta penolong di akhirat. Semoga Allah SWT menjadikan kita semua termasuk hamba-hamba-Nya yang menjaga hak-hak zakat, serta memperoleh keberkahan hidup karena menunaikannya dengan penuh kesadaran.
Referensi:
– Ibnu Qudamah, Al-Mughnî
– Al-Qadhi Abdul Wahhab, Al-Isyrâf ‘alâ Nukat Masâ`il Al-Khilâf
– Syihabuddin Al-Qarafi, Adz-Dzakhîrah
– Imam As-Sarakhsi, Al-Mabsûth
– Imam Ibnu Maudud Al-Maushili, Al-Mukhtâr li Al-Fatwâ beserta syarahnya Al-Ikhtiyâr
– Imam Al-‘Imrani Asy-Syafi’i, Al-Bayân
– Imam Al-Buhuti, Syarh Muntahâ Al-Irâdât
– Fatwa No: 4084 Darul Ifta` Al-Mishriyyah (31 Juli 2017)
Penulis: Yusuf Al-Amien, Lc., M.A.
(Dewan Pengawas Syariah Baitulmaal Munzalan Indonesia)
