Hukum Memberikan Zakat kepada Mantan Narapidana yang Fakir

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, yang telah mensyariatkan zakat sebagai salah satu pilar utama dalam membangun keadilan sosial dan menegakkan kesejahteraan umat. Zakat bukan hanya ibadah harta yang berorientasi spiritual, tetapi juga instrumen sosial-ekonomi yang mengokohkan tali persaudaraan antar sesama Muslim. Melalui zakat, Islam menanamkan nilai kepedulian terhadap mereka yang lemah, terpinggirkan, dan kehilangan daya untuk menafkahi diri serta keluarganya. Dengan demikian, zakat menjadi cerminan nyata dari kasih sayang dan solidaritas sosial yang diajarkan oleh Syariat Islam.

Dalam konteks kehidupan modern, muncul berbagai pertanyaan hukum mengenai kepada siapa zakat dapat diberikan, terutama terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang berada dalam kondisi sulit, seperti para narapidana fakir yang baru saja dibebaskan. Kondisi mereka yang kehilangan pekerjaan, dicap oleh stigma sosial, dan menanggung beban keluarga yang masih bergantung, menimbulkan kebutuhan untuk meninjau kedudukan mereka dalam kategori mustahik zakat.

Harta adalah Milik Allah, dan Manusia Hanyalah Khalifah di Dalamnya

Perlu kita ketahui bersama, bahwa pemilik hakiki dari seluruh harta benda—bahkan dunia seisinya—adalah Allah SWT semata. Manusia hanyalah mandataris dan “khalifah” yang diamanahi untuk menggunakannya dan memakainya. Allah SWT berfirman:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ﴾ التوبة/9: 60))

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 60).

Dalam ayat ini, Allah SWT telah mengkhususkan sebagian orang dengan harta tanpa sebagian yang lain sebagai karunia dari-Nya kepada mereka. Dan Allah menjadikan bentuk rasa syukur mereka terhadap karunia itu dengan mengeluarkan bagian tertentu dari harta tersebut untuk diberikan kepada orang-orang yang tidak memiliki harta, sebagai wakil dari Allah dalam hal itu, karena mereka hanyalah khalifah (pengelola) atas harta itu.

Ayat mulia ini telah mencakup delapan golongan penerima zakat, sebagaimana disebutkan dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ad-Daruquthni, bahwa: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW untuk bertanya tentang sedekah. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya:

(إِنَّ اللهَ تَعَالَى لَمْ يَرْضَ بِحُكْمِ نَبِيٍّ وَلَا غَيْرِهِ فِي الصَّدَقَاتِ، حَتَّى حَكَمَ فِيهَا هُوَ، فَجَزَّأَهَا ثَمَانِيَةَ أَجْزَاءٍ، فَإِنْ كُنْتَ مِنْ تِلْكَ الْأَجْزَاءِ أَعْطَيْتُكَ حَقَّكَ).

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak meridai keputusan seorang Nabi atau selainnya dalam urusan sedekah, hingga Dia sendiri yang menetapkan hukumnya, lalu Dia membaginya menjadi delapan bagian. Maka jika engkau termasuk dalam bagian-bagian tersebut, aku akan memberikan hakmu.”

Dan kata “shadaqah” (sedekah) apabila disebut dalam Al-Qur`an tanpa tambahan keterangan, maka maksudnya adalah zakat wajib, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

(أُمرتُ أَنْ آخُذْ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ وَأَرُدَّهَا إِلَى فُقَرَائِكُمْ).

“Aku diperintahkan untuk mengambil sedekah (zakat) dari orang-orang kaya di antara kalian, lalu aku mengembalikannya kepada orang-orang fakir di antara kalian.” (Tafsir Al-Qurthubi, 3/337).

Baca Juga: Zakat Sebagai Pendorong Investasi Produktif

Batasan antara Fakir dan Miskin dalam Golongan Penerima Zakat

Dari ayat yang mulia ini dapat dipahami bahwa di antara delapan golongan penerima zakat itu terdapat fakir dan miskin. Para ulama Bahasa Arab dan ulama Fikih berbeda pendapat mengenai perbedaan antara fakir dan miskin dalam banyak pendapat. Di antaranya: Fakir adalah orang yang memiliki sebagian kebutuhan pokoknya dan dapat menopang hidupnya, sedangkan miskin adalah orang yang sama sekali tidak memiliki apa-apa.

Para ulama Fikih juga berbeda pendapat mengenai batas kadar kefakiran yang memperbolehkan seseorang menerima zakat. Mereka berkata: “Barang siapa memiliki rumah dan pelayan yang tidak bisa ditinggalkan, maka boleh baginya menerima zakat, dan orang yang memberi zakat pun boleh memberikannya.” Imam Malik juga berkata: “Jika harga rumah dan pelayan itu tidak melebihi dari kebutuhan pokoknya, maka boleh baginya menerima zakat; tetapi jika berlebih dari kebutuhannya, maka tidak boleh.” Hal ini disebutkan oleh Ibnul Mundzir. Menurut pendapat Imam Malik ini pula, An-Nakha’i dan Ats-Tsauri berpendapat sama. Adapun Abu Hanifah, ia berkata: “Barang siapa memiliki dua puluh dinar atau dua ratus dirham, maka ia tidak boleh menerima zakat.” Sedangkan Imam Asy-Syafi’I, ia berkata: “Barang siapa mampu bekerja dan berusaha dengan kekuatan badan serta memiliki kemampuan mengelola sehingga hal itu mencukupinya dari bergantung kepada manusia, maka haram baginya menerima sedekah (zakat), berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

(لَا تَحِلُّ الصَّدَقَة لِغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مِرَّةٍ سَوِيٍّ).

“Tidak halal sedekah bagi orang kaya dan tidak pula bagi orang yang kuat dan sehat.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ad-Daruquthni, dari Abdullah bin Umar RA)

Sebagaimana diriwayatkan dari Jabir RA, ia berkata: “Sedekah (zakat) pernah dibawa kepada Rasulullah SAW, lalu orang-orang berkerumun di sekeliling beliau. Maka beliau bersabda:

(إِنَّهَا لَا تَصْلُحُ لِغَنِيٍّ، وَلَا لِصَحِيحٍ سَوِيٍّ، وَلَا لِعَامِلٍ قَوِيٍّ).

“Sesungguhnya zakat itu tidak layak (tidak boleh) untuk orang kaya, tidak juga untuk orang sehat yang kuat, dan tidak pula untuk pekerja yang masih kuat (mampu).” (HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya)

Dan diriwayatkan oleh Abu Daud, dari ‘Ubaidullah bin ‘Adiy bin Al-Khiyar, ia berkata: Dua orang telah memberitahuku bahwa keduanya datang kepada Nabi SAW pada Haji Wada’ sementara beliau sedang membagikan sedekah. Mereka berdua meminta bagian dari zakat, lalu Rasulullah SAW mengangkat pandangan kepada kami dan menundukkannya, lalu melihat bahwa kami berdua adalah orang yang kuat, maka beliau bersabda:

(إِنَّ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا، وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ، وَلَا لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ).

“Jika kalian berdua mau, aku akan memberikannya kepada kalian, tetapi tidak ada bagian zakat bagi orang kaya dan orang kuat yang mampu bekerja.”

Imam Al-Qurthubi memberi komentar terhadap Hadis ini dalam Tafsir-nya (8/173, Dar al-Kutub al-Misriyah): “‘Ubaidullah bin Al-Hasan berkata: Barang siapa tidak memiliki harta yang mencukupi kebutuhannya selama satu tahun, maka ia boleh diberi zakat.”

Hukum Membayar Zakat kepada Narapidana Fakir yang Telah Dibebaskan

Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu kita perhatikan bersama, jika mantan narapidana yang akan diberi zakat itu memang tergolong orang fakir atau miskin yang terhalang untuk bekerja, maka dia boleh menerima zakat. Terkait masalah ini, Darul Ifta` Mesir memfatwakan:

(إن السجناء المفرج عنهم إذا كانوا فقراء معدمين … وكانوا غير قادرين على الكسب والعمل، ومن ذوي الأسر كثيرة العدد، وأولادهم في مراحل التعليم المختلفة، وليس لهم مصدر للرزق الحلال، وأغلقت أبواب الكسب الحلال دونهم، فإن ما يقدمه أهل الخير والهيئات من المساعدات يجوز أن تكون من زكاة أموالهم إذا كانت نيتهم عند الأداء لهذه الأموال أنها من الزكاة المفروضة عليهم).

“Apabila para narapidana yang telah dibebaskan itu benar-benar fakir dan tidak memiliki apa pun … dan mereka tidak mampu bekerja atau mencari nafkah, serta memiliki keluarga yang anggotanya banyak, dengan anak-anak dalam berbagai jenjang pendidikan, dan mereka tidak memiliki sumber penghasilan halal, serta pintu-pintu rezeki halal tertutup bagi mereka, maka bantuan yang diberikan oleh para dermawan dan lembaga sosial boleh dihitung sebagai zakat harta, dengan syarat niat pemberian itu adalah zakat wajib pada saat diberikan.”

            Kemudian Darul Ifta` Mesir melanjutkan fatwanya dengan menekankan:

(وعلى الجهات المعنية بهذا الأمر أن تبحث أحوال السجناء والمفرج عنهم قبل إعطائهم من هذه الزكاة ممن ثبت أنه مستحق، وتنطبق عليه شروط من هم من مصارف الزكاة، فإذا ثبت أنه مستحق أعطي منها، ومن لم يثبت استحقاقه الزكاة فلا يعطى منها إلا على سبيل التبرع والصدقة غير المفروضة؛ حتى لا تعطى الزكاة لمن لا يستحقها شرعًا).

“Bagi lembaga atau pihak yang berwenang terkait hal ini, maka wajib bagi mereka untuk meneliti terlebih dahulu keadaan para narapidana dan mereka yang telah dibebaskan sebelum memberikan zakat kepada mereka, agar hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar memenuhi syarat sebagai penerima zakat. Jika terbukti bahwa mereka berhak menerima, maka mereka diberi dari zakat tersebut. Namun, jika tidak terbukti berhak, maka tidak boleh diberikan kepada mereka kecuali dalam bentuk sedekah sunah (non-wajib), agar zakat tidak diberikan kepada orang yang tidak berhak secara syar’i.”

Dari penjelasan para ulama dan dalil-dalil yang dijadikan landasan di atas, dapat disimpulkan bahwa para narapidana fakir yang telah dibebaskan termasuk ke dalam golongan mustahik zakat apabila mereka tidak memiliki penghasilan, kehilangan kemampuan bekerja, dan menanggung tanggungan keluarga tanpa sumber nafkah halal. Memberikan zakat kepada mereka merupakan bentuk kepedulian sosial yang sejalan dengan semangat ayat Al-Qur`an tentang delapan golongan penerima zakat sebagaimana tercantum dalam Surah At-Taubah ayat 60. Dengan menyalurkan zakat kepada mereka, umat Islam turut berperan dalam membangun kembali kehidupan para mantan narapidana agar dapat berdiri dengan terhormat dan produktif di tengah masyarakat.

Namun yang menjadi catatan penting juga, perlu ditekankan bahwa penyaluran zakat harus dilakukan secara cermat dan penuh tanggung jawab. Lembaga atau individu yang menyalurkan zakat kepada para narapidana fakir wajib memastikan bahwa penerimanya benar-benar memenuhi syarat sebagai mustahik. Dengan demikian, zakat akan tepat sasaran dan berfungsi sebagaimana mestinya: menyucikan harta, membersihkan jiwa dari sifat kikir, serta mewujudkan keadilan sosial yang menjadi tujuan utama Syariat Islam. Semoga Allah menerima amal saleh kaum Muslimin dan menjadikan zakat mereka sebagai sebab turunnya keberkahan dan rahmat bagi seluruh umat.

Refrensi

  • Imam Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li-Ahkâm Al-Qur`ân
  • Fatwa No: 3118 Darul Ifta` Al-Mishriyyah (23 Oktober 1999 M.)

Penulis: Yusuf Al-Amien, Lc., M.A.

(Dewan Pengawas Syariah Baitulmaal Munzalan Indonesia)

Bagikan Post ini
Buka WhatsApp
1
Butuh bantuan?
Nispi
assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh 👋
Apa ada yang bisa kami bantu?