Zakat adalah salah satu rukun Islam yang berdimensi ubudiyah yang merupakan kewajiban vertikal antara seorang hamba dengan penciptanya yaitu Allah SWT, juga berdimensi sosial yang merupakan kewajiban horizontal antar sesama manusia, antara Aghniya kelompok yang mempunyai kelebihan harta dengan para dhuafa fakir miskin.
Seorang hamba yang dikaruniai rizki yang memadai dari Allah SWT dan sudah cukup jumlah minimal untuk dikeluarkan zakatnya yang disebut Nisab dan sudah mencapai waktu 1 (satu) tahun dalam pemilikannya disebut Haul, kemudian ia mengeluarkan zakatnya sesuai dengan ketentuan syariat, maka secara bersamaan mereka sudah memperbaiki hubungan dua pihak sekaligus yaitu hubungan vertikal dengan Allah SWT sebagai pencipta yang memberikan amanah rizki kepadanya dan hubungan horizontal dengan sesama hamba Allah yaitu para dhuafa fakir miskin.
Hal ini sesuai firman Allah dalam surah Adz-Dzariyat ayat 19:
وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ ١٩
“Dan diantara harta mereka (para aghniya) ada haknya orang yang meminta-minta dan yang malu meminta (fakir miskin).”
Di ayat lain Allah SWT dalam surah At Taubah ayat 103 juga berfirman :
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
“Ambillah (pungutlah) zakat sebagian dari harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do’akanlah mereka.”
Akan tetapi sebaliknya, seseorang yang sudah memiliki harta dan menurut syariat sudah wajib mengeluarkan zakat namun dia tidak melakukan kewajiban zakatnya, maka yang bersangkutan secara bersamaan juga melalaikan dua kewajiban yaitu kewajiban kepada Allah dan kewajiban kepada kaum dhuafa, yang berarti ia durhaka kepada Allah dan zalim terhadap fakir miskin, karena tanpa ia sadari bahwa didalam harta yang telah dikumpulkan dan sudah memenuhi ketentuan syariat untuk dizakati tapi tidak dikeluarkan zakatnya, mereka sudah mencampur adukkan harta miliknya dengan hak fakir miskin dalam hartanya tersebut.
Baca Juga: Tentang Qordhul Hasan
Kondisi seperti ini sangat rentan dan akan berdampak timbulnya kecemburuan sosial dalam kehidupan masyarakat, dan hal ini sangat memprihatinkan karena bisa menimbulkan instabilitas ketenangan dan kenyamanan hidup manusia itu sendiri, karena kepincangan sosial dalam kehidupan antar manusia bisa menjadi pemicu maraknya berbagai bentuk kemungkaran dan kejahatan.
Maka dari itu, dalam upaya merajut hubungan yang akrab dan harmonis antara dua kelompok manusia yang ditakdirkan Allah SWT dalam strata ekonomi yang berbeda yaitu kelompok manusia mendapat rizki yang cukup dan memenuhi syarat untuk berzakat dan dipihak lain kelompok manusia dengan kehidupan yang perlu disantuni yaitu para dhuafa fakir miskin. Zakat adalah solusi yang tepat dalam mengatasi kecemburuan sosial diantara dua kelompok tersebut.
Jujur harus kita akui dan sadari bahwa posisi fakir miskin dalam mendukung usaha para aghniya (orang kaya) sangatlah berarti, baik melalui interaksi antar mereka maupun melalui do’anya, karena do’a para dhuafa Insya Allah akan makbul. Sebaliknya dengan santunan para aghniya dari zakatnya kepada fakir miskin, sangat membantu kesejahteraan hidup mereka, dan dengan demikian keharmonisan dan rasa ukhuwah akan terwujud dengan baik.
Selanjutnya agar zakatnya para wajib zakat (muzakky) tepat sasaran dan tepat guna, sampai kepada mustahik khususnya fakir miskin, penyerahan zakat dilakukan melalui Lembaga Pengumpul Zakat yang resmi dibentuk oleh pemerintah yaitu BAZNAS atau mendapat izin dari pemerintah yaitu LAZ. Karena lembaga-lembaga dimaksud akan melakukan pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah secara professional dan proporsional serta keberadaan dan kewenangannya secara hukum dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Mudah-mudahan hal terebut semakin memotivasi umat Islam yang mampu untuk menunaikan zakatnya dan tanpa ragu menyerahkan melalui Lembaga Amil Zakat BMI.
Penulis: Drs. H.M Basri HAR
(Dewan Pengawas Syariah Batulmaal Munzalan Indonesia)
